Serial Fikih Muamalah (Bag. 19): Hukum dan Konskuensi Akad yang Dibenarkan oleh Syariat
Syariat Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan berupa rukun-rukun dan syarat-syarat dalam setiap akad yang dilaksanakan oleh seorang muslim. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut, syariat akan memilah mana dari akad-akad tersebut yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Sehingga, akan ada akad-akad yang dibenarkan dan diperbolehkan oleh syariat dan ada juga akad-akad yang tidak dibenarkan oleh syariat ini.
Alhamdulillah, pada pembahasan-pembahasan sebelumnya telah kita bahas mengenai rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Dan pada pembahasan kali ini akan kita bahas dari segi hukum-hukum yang berkaitan dengan akad-akad yang telah dibenarkan oleh syariat. Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan akad-akad yang tidak dibenarkan oleh syariat, maka akan kita bahas pada pembahasan yang selanjutnya.
Dalam syariat kita, akad-akad yang diperbolehkan disebut dengan ‘Al-Aqdu As-Shahih’ (akad yang benar), yaitu akad yang terpenuhi padanya rukun-rukun dan syarat-syaratnya, baik itu kemampuan bertransaksi dari kedua belah pihak yang melangsungkan akad, keselamatan shighah akadnya, kapasitas objek akad yang menerima hukum syariat dan tidak terkaitnya akad tersebut dengan sifat-sifat yang dapat mengeluarkannya dari daftar akad yang diperbolehkan.
Dapat kita katakan pada akad semacam ini,
“Akad jual beli ini sah dan dibenarkan, sehingga kepemilikan harta berpindah kepada pembeli dan kepemilikan nilai tukarnya berpindah ke penjual.”
Kita katakan juga,
“Akad nikah ini sah dan diakui oleh syariat sehingga menghalalkan dan membolehkan hubungan suami istri dan saling menikmati antara keduanya.”
Dua kondisi akad sahih
Akad yang sahih (benar) memiliki 2 kondisi:
Pertama: Akadnya sah dan diputuskan langsung ketika akad telah selesai. Pada kondisi seperti ini, akad tersebut disebut dengan Akad Nafidz.
Kedua: Akadnya menggantung pada persetujuan pihak lain. Pada kondisi seperti ini, akad tersebut disebut dengan Akad Mauquf.
Berikut ini kami jelaskan dengan lebih rinci mengenai dua kondisi akad tersebut.
Pertama: Akad nafidz (sah dan telah diputuskan)
Yaitu, akad yang muncul dari pihak yang memiliki kuasa untuk melakukannya, dan orang tersebut akan merasakan pengaruh dari akad yang telah dilakukannya tersebut. Hal ini karena akadnya tersebut dilakukan dengan memenuhi semua rukun-rukun dan syarat-syaratnya serta tidak adanya penghalang, baik itu dari sesuatu yang menyelisihi syariat atau dilarang pada akadnya.
Akad ini wajib hukumnya untuk dipenuhi. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Ma’idah:1)
Dan oang yang melakukan akad semacam ini, tidaklah melangsungkan akad, kecuali memiliki tekad untuk berpegang teguh dengan konskuensi-konskuensi yang akan timbul setelah selesainya akad tersebut.
Melihat adanya perbedaan karakteristik antara satu akad dengan akad yang lainnya serta adanya perbedaan kebutuhan kedua pihak antara bolehnya pembatalan sepihak atau tidaknya, maka para ahli fikih membagi akad nafidz menjadi 2 bagian: lazim dan tidak lazim.
Akad lazim
Yaitu, akad di mana kedua belah pihak tidak memiliki kuasa untuk membatalkan akad tersebut secara sepihak, karena tabiat akadnya tidak menerima pembatalan. Contohnya adalah akad khuluk (gugat cerai) dan akad pembebasan budak. Pada akad-akad semacam ini, kedua belah pihak atau salah satunya tidak diperbolehkan untuk membatalkan akadnya dan berpaling darinya.
Dengan berlangsungnya akad gugat cerai, yaitu perceraian dengan pembayaran oleh pihak isteri kepada suami, maka seorang istri telah keluar dari perlindungan suaminya dan ia sudah tidak halal lagi bagi suaminya, kecuali dengan mengikat akad pernikahan yang baru.
Seorang hamba sahaya yang telah dibebaskan oleh tuannya, maka ia tidak akan lagi menjadi budak tuannya, meskipun ia rida dan menerima untuk menjadi budaknya kembali.
Termasuk dari akad lazim adalah akad jual beli, sewa menyewa, dan akad pemesanan pembuatan barang. Pada akad-akad tersebut tidak diperbolehkan adanya pembatalan, kecuali atas keridaan kedua belah pihak, yang dalam syariat kita sering disebut dengan iqalah (pembatalan kontrak), di mana sebuah transaksi menjadi seakan-akan belum pernah terjadi. Dalil yang mendasari bolehnya pembatalan kontrak dengan persetujuan kedua belah pihak adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَن أقالَ مُسلِمًا بيعتَه ؛ أقالَه اللهُ عَثرتَه يومَ القِيامةِ
“Siapa yang menerima pengembalian barang dari seorang muslim, maka Allah akan mengampuni kesalahannya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud no. 3460 dan Ahmad no. 7431)
Dari hadis ini, dapat kita ketahui bahwa akad jual beli adalah akad lazim yang seharusnya tidak boleh dibatalkan kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak. Nabi juga menjelaskan bahwa seorang pedagang dan penjual tidak harus menyetujui pembatalan akad yang diajukan oleh pembeli, hanya saja mereka yang mau menerima pengembalian barang dari pembeli, maka akan mendapatkan keutamaan ampunan Allah di hari akhir nanti.
Akad tidak lazim (Jaiz)
Yaitu, akad yang karakternya tidak mengikat kedua belah pihak, masing-masing pihak boleh membatalkan akad tersebut secara sepihak tanpa perlu mendengar pendapat dan persetujuan pihak lain terlebih dahulu. Contohnya adalah akad penitipan, peminjaman, dan akad wakalah, kecuali apabila akadnya tersebut berkaitan dengan hak orang lain.
Kedua: Akad mauquf (Akad yang ditangguhkan)
Yaitu, akad yang telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya, dan yang melakukannya adalah seseorang yang cakap dan mampu bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad tersebut.
Contohnya adalah akad jual beli dengan menggunakan harta orang lain tanpa izin terlebih dahulu (fuduli). Dalam hal ini akad tersebut belum dikatakan sah hingga mendapatkan persetujuan dari pemilik harta. Mayoritas ulama membolehkan akad semacam ini, di antara dalilnya adalah kisah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bernama Urwah tatkala bermuamalah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia menceritakan,
أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan kurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas, ia pun membeli dua kambing, ia jual lagi salah satu di antara keduanya dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, (yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya.).” (HR. Abu Daud no. 3384 dan Tirmidzi no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadis ini hasan)
Di dalam kisah tersebut, Urwah berdagang dengan harta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum mendapatkan izin darinya, barulah ketika ia mendapatkan keuntungan dan mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, beliau mengizinkannya. Bahkan, Nabi mendoakannya dengan keberkahan dalam perdagangannya tersebut.
Saudaraku, itulah sedikit pembahasan mengenai hukum-hukum dan konsekuensi dari akad-akad yang diperbolehkan oleh syariat ini. Pada pembahasan berikutnya, akan kita bahas bersama-sama hukum-hukum dan konsekuensi dari akad-akad yang dilarang oleh syariat ini. Wallahu a’lam bis-shawab.
[Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/97126-serial-fikih-muamalah-bag-19-hukum-dan-konskuensi-akad-yang-dibenarkan-oleh-syariat.html